LEBIH dari setengah penduduk Indonesia sudah menggunakan internet. Sekitar 69% di antara mereka aktif internet berbasis perangkat telepon (mobile). Data ini menjadikan pertumbuhan usaha rintisan (start-up) di Indonesia prospektif, meski jumlah start-up baru sampai dengan kuartal kedua 2017 turun 23% dibandingkan tahun lalu berdasarkan studi Tech In Asia.
Hal tersebut ditegaskan Wakil Ketua Asosiasi Modal Ventura untuk Startup Indonesia (Amvesindo) Donald Wihardja saat mengisi Journalist Class: Startup Outlook 2018 and Fintech di Jakarta, Selasa (7/11). Investor masih melihat ekosistem start-up di Indonesia berkembang dengan baik. “Berdasarkan data dari Google, sejak 2014 sampai saat ini sudah terdapat US$5 miliar masuk ke Indonesia. Dari jumlah tersebut, US$3 miliar masuk tahun ini,” kata Donald.
Pendanaan terhadap bisnis daring semakin matang dengan akuisisi dan initial public offering (IPO) start-up pada tahun ini. Menurut Donald, fenomena itu dimulai sejak 2011 saat CT Corp membeli salah satu media daring.
Perkembangan pendanaan bisnis daring pun terus berkembang hingga saat ini tercatat Kioson dan Mcash melantai di bursa. Dari tujuh start-up level unicorn di Asia Tenggara, imbuh Donald, tiga di antaranya berada di Indonesia, yaitu Go-Jek, Tokopedia, dan Traveloka.
“Motor dari bukti kesuksesan start-up yaitu platform perdagangan elektronik (e-commerce), baik berupa market place maupun yang bersifat ride sharing, kemudian teknologi finansial (tekfin). Semua kesepakatan pendanaan yang terjadi di kuartal III 2017 mengarah ke tekfin. Penetrasi mobile dan akses internet akan terus mendorong pertumbuhan tekfin ke depan,” ujar Donald.
Kolaborasi perbankan
Associate Director Skystar Capital William Eka melanjutkan bahwa tekfin–dengan pemain yang masih relatif sedikit–punya pasar yang besar di Indonesia. Di sisi regulasi, pemerintah merangkul tekfin dengan regulasi sandbox di Bank Indonesia dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) 77/2016 mengatur platform peer to peer (P2P) lending.
Perbankan mulai meluncurkan anak usaha yang bergerak di bidang permodalan untuk membantu pergerakan tekfin. Sebut saja Bank Mandiri yang meluncurkan Mandiri Capital Indonesia (MCI) dan Bank BCA dengan Central Capital Ventura.
“Keduanya fokus untuk menjadi investor bagi tekfin. Mandiri punya modal hingga US$37 juta dan BCA US$15 juta. Saat ini dari estimasi 50 tekfin yang mendapatkan pendanaan, sudah 20 yang mencapai kesepakatan dalam 8 bulan pertama di tahun ini,” kata William.
Selain e-commerce dan tekfin, start-up lain yang dilirik investor ialah kecerdasan buatan (artificial intellegent) dan blockchain technologies atau bitcoin yang sudah menawarkan initial coin offering yang tak terbatas pada 2017. Start-up berupa kecerdasan buatan terbukti menarik investor seperti virtual fitting yang dibuat mahasiswi ITB.
“Ada investor dari Amerika Serikat yang ingin membeli aplikasi itu. Biasanya investasi awal berkisar antara Rp2 miliar-Rp4 miliar,” ungkap Ryo Naldho, Appcelerate Program Director Lintasarta.
Virtual fitting memberikan pengalaman baru bagi pembelanja daring. Pembeli dapat mencoba pakaian secara virtual sehingga diketahui ukuran, bentuk, dan warna yang diinginkan seolah-olah mereka berada dalam ruangan ganti.
Original article here by Media Indonesia.