Original post by Harian Jogja.
Penanaman modal di perusahaan teknologi rintisan (startup) di Tanah Air dinilai kian mahal. Hal ini membuat investor cenderung berhati-hati karena ongkos menjadi pemegang saham di startup semakin tinggi.
Investor berhati-hati mengucurkan dana skala besar ke perusahaan rintisan dan lebih memilih mendanai perusahaan pada tahap pertumbuhan awal, kecuali di sektor teknologi finansial (tekfin) yang tetap saja menjadi rebutan investor dalam dan luar negeri.
Indikasi itu terlihat dari laporan berjudul e-Conomy SEA 2018 yang dirilis Google & Temasek. Menurut laporan tersebut, perusahaan rintisan Indonesia telah memperoleh kucuran modal senilai US$1,8 miliar sepanjang paruh pertama 2018.
Nilai itu berasal dari 154 kesepakatan pendanaan yang disepakati startup dengan investor dalam kurun waktu yang sama.
Dari sisi jumlah kesepakatan, terjadi pertumbuhan sebesar 152,45% dari 61 kesepakatan yang tercipta sepanjang semester I/2017. Adapun, nilai investasi hanya tumbuh 28,57% dari periode sebelumnya yang sebesar US$1,4 miliar.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Modal Ventura untuk Startup Indonesia (Amvesindo) Donald Wihardja mengakui bahwa investor semakin aktif mendanai startup di Tanah Air.
Akan tetapi, ketimpangan laju pertumbuhan jumlah kesepakatan dan nilai pendanaan itu menunjukkan investasi ke perusahaan teknologi rintisan di Indonesia semakin mahal.
Menurut Donald, fokus investasi berbagai modal ventura lokal sepanjang tahun ini secara umum masih tertuju pada startup tahap awal. Kucuran pendanaan seri A yang disalurkan berkisar US$2 juta—US$5 juta.
“Teman-teman dari venture capital lain sempat banyak berdiskusi, kami semua sepakat kalau startup Indonesia sekarang semakin mahal,” ujar Donald kepada Bisnis, Jumat (23/11)
Dia melanjutkan jika modal ventura lebih melirik startup pada tahap awal, perusahaan yang berada tahap lanjutan cenderung mencari pendanaan yang lebih besar dibandingkan dengan perusahaan lain di kawasan. Keberanian mencari pendanaan besar, jelasnya, karena pasar Indonesia adalah pasar premium.
Satu-satunya sektor yang mengundang investor skala besar adalah tekfin. Mayoritas pendanaan Seri B ke atas masuk ke bisnis tekfin.
Pada 2018, arus modal mengalir deras ke sektor teknologi finansial. Paling baru, perusahaan penyedia layanan kredit virtual Akulaku meraih pendanaan US$70 juta pada Oktober. Akulaku menyusul Kredivo yang mengantongi US$30 juta pada Juli.
Pada April 2018, perusahaan penyedia layanan pembiayaan langsung, Modalku, juga meraih pendanaan seri B senilai US$25 juta yang dipimpin SoftBank Korea.
Beberapa tekfin P2P lending, seperti Investree, Amartha, UangTeman, Koinworks, Crowdo, dan sebagainya juga mengumumkan pendanaan seri B meski tidak ingin memublikasikan nilainya.
Pemodal ventura juga meyakini selain di sektor tekfin, perusahaan rintisan di bidang logistik dan pendidikan juga memiliki prospek yang menjanjikan pada 2019.
“Menurut saya pribadi, tekfin yang menggeluti payment masih akan tumbuh eksponensial. Akan tetapi, terus terang saya berharap dari vertikal education dan logistics juga tumbuh pesat, karena mulai bermunculan pemain yang bagus-bagus dari bidang itu di Indonesia,” ujar Donald.
Sementara itu, Direktur PT Ventura Giant Asia Rimawan Yasin menilai masih banyak celah bagi modal ventura untuk mengucurkan dana karena tidak semua startup membutuhkan biaya yang besar.
Dia mengakui, saat ini rata-rata kemampuan modal ventura di Indonesia maksimal hanya mendanai sampai Seri A saja. “Mahal atau tidaknya tergantung pada tahap mana investasi startup-nya. Kalau sudah masuk ke series B, ya pasti mahal,” katanya saat dihubungi Bisnis.
Ventura Giant Asia sendiri telah mendanai lima startup sepanjang 2018 pada level seed.
PALING ATRAKTIF
Di Asia Tenggara, menurut riset Google & Temasek, investasi yang telah dikucurkan pemodal kepada berbagai startup di kawasan tersebut sejak 2016 hingga paruh pertama 2018 mencapai US$24 miliar.
Indonesia dan Singapura menjadi dua magnet Asean yang paling atraktif menarik minat investor di bidang ekonomi digital.
Investasi senilai US$6 miliar dipastikan telah mengalir kepada startup yang bermarkas di Indonesia, sedangkan pendanaan bernilai US$16 miliar tertuju kepada startup yang berkantor pusat di Singapura.
Sebagian besar pendanaan dalam kurun waktu tersebut didominasi oleh investasi yang diperoleh sembilan unicorn atau startup bervaluasi di atas US$1 miliar di Asean.
Sembilan perusahaan rintisan itu adalah Go-Jek, Traveloka, Tokopedia, Bukalapak, Grab, Sea, Lazada, Razer, dan VNG, dengan total pendanaan kumulatif senilai US$16,4 miliar. Adapun, sisanya atau sekitar US$7 miliar terdistribusi kepada lebih dari 2.000 perusahaan rintisan digital lain.
Sementara itu, nilai kucuran investasi yang tersalur kepada startup di Asean sepanjang semester pertama 2018 mencapai US$9,1 miliar, atau hampir menyamai total pendanaan sepanjang 2017 senilai US$9,4 miliar.
Sekitar 80% dana yang terhimpun pada semester pertama itu merupakan investasi yang diperoleh sejumlah unicorn asal Singapura, yaitu Grab Lazada dan Sea.
Amvesindo meyakini angka tersebut bisa saja berubah signifikan apabila beberapa unicorn asal Indonesia berhasil menutup putaran penggalangan dana terbarunya pada akhir tahun ini.
Pasalnya, Go-Jek dan Tokopedia dikabarkan tengah membuka putaran penggalangan dana terbaru bernilai miliaran dolar AS untuk mendanai langkah ekspansi keduanya.
Ketua Umum Asosiasi E-commerce Indonesia (IdEA) Ignatius Untung memprediksi e-commerce dalam jangka panjang akan terus menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi digital di dalam negeri. Hanya saja, persaingan pada bisnis e-commerce akan semakin kompetitif bila dibandingkan dengan vertikal lain.