Indonesia memiliki, setidaknya, 1.726 startup merujuk laporan startupranking.com atau keempat terbesar di dunia. Dari jumlah itu, hanya ada empat Unicorn. Pemerintah Indonesia bersama Amvensindo mempersiapkan 44 startup siap jadi Nexticorn. Kapan itu terwujud?
Menteri Komunikasi dan Informasi, Rudiantara, punya mimpi besar. Pada 2020, Indonesia akan memiliki tambahan 1.000 perusahaan rintisan (startup). Saat ini, merujuk startupraking.com, Indonesia memiliki 1.726 startup atau berada di posisi ke-4 di dunia dalam hal kepemilikan perusahaan rintisan. Tertinggi masih Amerika Serikat dengan 28.848 startup, India dengan 4.771 startup, dan Inggris dengan 2.989 startup.
Dari 1.726 startup yang ada, baru empat startup yang berstatus Unicorn atau memiliki nilai valuasi di atas US$1 miliar. Keempat startup tersebut, yakni Go-Jek (Rp53 triliun), Traveloka (Rp14 triliun), Tokopedia (Rp14 triliun), dan Bukalapak (Rp13,5 triliun). Chief RA—begitu Rudiantara biasa disapa—memperkirakan pada tahun 2019 bakal ada satu lagi startup berstatus Unicorn. Namun, hasil riset AT Kearney dan Google terkait perkembangan startup di Indonesia justru menyimpulkan sampai tahun 2020, belum ada Unicorn yang muncul dari Indonesia.
Untuk mendorong lahirnya startup-startup Unicorn, Chief RA bersama komunitas perusahaan modal ventura membuat program Next Indonesian Unicorn (Nexticorn) dengan mempersiapkan setidaknya 44 startup. Berbagai upaya dilakukan pemerintah guna membangun ekosistem sektor e-commerce, seperti dengan merilis Peta Jalan Sistem Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik (Roadmap E-Commerce) melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 74 Tahun 2017. Menurut perkiraaan Chief RA, kehadiran Perpres ini akan mendorong lagi volume transaksi e-commerce mencapai US$130 miliar pada tahun 2020 atau 11% dari produk domestik bruto (PDB).
“Hal yang tidak dipungkiri bahwa masa depan ekonomi akan berbasis digital yang akan memberikan tingkat efisiensi lebih tinggi dan efektif yang jauh lebih tinggi,” ujar Rudiantara usai menyaksikan kerja sama Go-Jek dan PT Astra International Tbk, di Jakarta, 14 Februari 2018. Sumbangsih e-commerceterhadap PDB per tahun 2017 memang relatif kecil, yakni 0,75%. Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memperkirakan nilai transaksi e-commerce pada tahun 2018 sebesar US$102 triliun dengan angka PDB 2017 sebesar Rp13.588 triliun. Meski kontribusi itu masih relatif kecil, Indef perkirakan ke depannya berpotensi tumbuh besar.
Selain merilis Perpres, pemerintah juga memangkas pajak final kepada pelaku UMKM termasuk startupdari saat ini 1% dari omzet menjadi 0,50%. Pelaku usaha modal ventura yang terhimpun dalam Asosiasi Modal Ventura Indonesia (Amvesindo) sempat melayangkan usulan agar besaran pajak final itu hanya 0,25% saja. Pemerintah menyadari bahwa perkembangan e-commerce yang begitu cepat belumlah diimbangi dengan kesiapan regulasi yang memayunginya. Merebaknya perusahaan rintisan, sepertifinancial technology (fintech) menjadi ‘barang asing’ yang masih dicarikan racikan regulasi yang pas.
Untuk merespons kemajuan zaman tersebut, Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menginisiasi kebijakan bertajuk Regulatory Sandbox (RS). Yang dimaksud RS adalah ruang uji coba terbatas yang dianggap aman untuk menguji coba satu produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis baru. Di RS inilah wadah bagi pelaku usaha, seperti fintech, dan otoritas untuk melakukan eksperimen sebelum nantinya bisa beroperasi penuh. Di RS ini pula diteliti terkait manajemen risiko dari praktek fintech agar kepentingan konsumen tetap terlindungi.
“Prinsipnya, pemerintah memberi ruang berinovasi kepada siapa pun. Pemerintah tidak akan mempersulit, bahkan akan memberi insentif agar bisa bertumbuh, setelah itu baru akan diatur,” ujar Chief RA. Pertarungan global dalam melahirkan startup-startup berkelas Unicorn seperti tidak terhindarkan. Setiap negara mencoba adu memberi insentif super agar startup-startup tersebut bisa berjalan. Amerika Serikat dengan Silicon Valleynya merupakan surga bagi startup. China pun tidak mau kalah dengan membangun inkubator di 10 provinsi dan memberi perlindungan startup mereka dari serangan pemain global. Itu belum termasuk pemberian kredit-kredit murah (Lihat: Unicorn Manca Negara-red).
Negeri Jiran seperti Singapura pun melakukan hal yang sama. Merujuk startuprangking.com, negeri jiran ini memiliki 513 startup. Pemerintah Singapura memberi insentif pajak berupa penghapusan pajak penghasilan (PPh) kepada pelaku startup sampai nilai S$100 ribu dalam kurun tiga tahun. Negeri itu meniadakan pajak atas capital gain bagi investor yang membenamkan uang mereka kepada startup di sana. Itu belum termasuk berbagai kemudahan layanan kepada perusahaan rintisan. Tidak mengherankan apabila Singapura meraup 41% atau US$2,8 miliar dari US$6,8 miliar aliran modal yang masuk ke Asia Tenggara. Sementara, Indonesia merujuk kajian AT Kearney, hanya kebagian US$1,4 miliar pada 2016.
“Banyak pemilik modal asal Indonesia yang justru nongkrong di Singapura dan mengucurkan dana mereka ke luar negeri ketimbang di dalam negeri,” ujar Jeffri R. Sirait, Ketua Umum Amvesindo yang juga CEO PT Astra Mitra Ventura. Hal ini dikarenakan Singapura memberi banyak kemudahan mulai dari perpajakan sampai pelayanan perizinan bagi pemodal asing. Pada sisi lain, menurut AT Kearney, faktor yang membuat investor lokal kurang bergairah membiayai startup di dalam negeri karena minimnya kisah sukses yang bisa menjadi role model. Sementara, ada anggapan investor lokal bahwa lebih menguntungkan berinvestasi di luar negeri, seperti di Singapura.
Memperbanyak Success Story
Saat ini, success story startup yang menjadi best seller barulah empat Unicorn (Go-Jek, Traveloka, Tokopedia, dan Bukalapak). Yang terus dinanti hasil grooming ke-44 startup agar melahirkan success story yang best seller di mata investor dan pasar (user) sehingga menjadi Nexticorn dalam waktu dekat ini. Merujuk harapan Chief RA, setidaknya pada tahun 2019, ada satu lagi Unicorn baru asal Indonesia. Lantas bagaimana melahirkan success story baru?” Yang fundamental mesti membangun green ecosystem,” ujar Jeffri R. Sirait.
Yang dimaksud dengan green ecosystem adalah suatu lingkungan yang kondusif bagi startup untuk tumbuh kembang dengan berbagai kemudahan, mulai dari sisi regulasi; pemberian insentif fiskal, seperti pengenaan pajak yang ringan; bantuan permodalan baik dari pemerintah (seperti yang dilakukan Pemerintah Jepang yang menyuntikkan dana ke sejumlah perusahaan modal ventura); dan mentoring dari para startup dari perusahaan modal ventura atau senior mereka, yakni startup yang sudah Unicorn.
Sementara dari sisi investor, kata Donald Wihardja, kebanyakan perusahaan modal ventura di Asia Tenggara mempunyai mandat regional. Maksudnya, VC sebagai investor profesional mengumpulkan dana dari para investor yang mempunyai “mandate atau thesis” yang mereka jual sebagai alasan investor taruh uang di mereka. Nah, semua invesment mereka merujuk mandate tersebut, yakni bermain di level regional ketimbang hanya di satu negara, seperti Indonesia saja. “Jadi, mereka merasa aman kalau mandatnya regional bukan satu negara,” ujar Partner Convergence Ventures yang juga menjabat Wakil Ketua Umum Amvensindo ini.
Menurut Donald Wihardja, justru Convergence Venture merupakan satu-satunya VC yang mandate-nya hanya Indonesia. Pasalnya, ia percaya bahwa kesempatan terbesar di Asia Tenggara, yakni di Indonesia. Bagi Convergence, mereka tidak mau ambil pusing pasar negara-negara di Asia Tenggara lainnya, seperti Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Myanmar. Pasar Indonesia saja sudah cukup. Bila merujuk hasil kajian yang dilakukan AT Kearney & Google, terus membaiknya kondisi makro ekonomi Indonesia, seperti GDP per kapita Indonesia yang meningkat dari US$3.600 (2016) menjadi US$5.700 (2021); penetrasi smartphone yang terus meningkat dari 85 juta (2016) menjadi 148 juta (2021); online shopper dari 11 juta (2016) jadi 42 juta (2021); dan kelas menengah dari 63 juta jiwa menjadi 128 juta jiwa (2021). Tidaklah mengherangkan apabila banyak VC asal Singapura yang membuka cabang di Indonesia untuk mengenal startup Indonesia.
Untuk maksud itu, ia mengusulkan agar Indonesia menjadi tempat yang menarik bagi VCVC global dan regional berinvestasi di pasar startup di dalam negeri. Setidaknya, ia mengusulkan lima hal agar Indonesia menjadi investment destination. Pertama, program Nexticorn mesti mengumpulkan semua data startupagar mudah diakses. Kedua, Nexticorn mesti didukung Kominfo, Kemenkeu, OJK, Berkraf, dan BKPM bahwa Indonesia siap menerima investment dari mereka. Ketiga, program Nexticorn yang mereferensi startup ke VC tidak dipungut biaya. Misalnya, Earnst & Young (EY) dan Deloitte mematok arrangement fee 5%. Keempat, Nexticorn bekerja sama dengan Top Conference untuk menyiapkan tempat pertemuan antara startup dengan VC di setiap event. Kelima, Nexticorn Indonesia dan Pemerintah Indonesia mempromosikan peluang investasi di Indonesia.
Dalam bingkai memperbayak success story startup di Indonesia, pihak Amvesindo yang terdiri dari 60 perusahaan modal ventura di dalam negeri dan 125 startup sebagai stakeholder, berupaya berbagai cara. Dengan hadirnya startup dalam satu wadah, ibarat membangun kolam sendiri di mana para investor (VC) tinggal memancing ikan (startup-red) mana mau ditangkap untuk didanai. Selain itu, Amvesindo juga membangun jejaring sesama perusahaan VC di Asean dengan mendirikan Asean Venture Council. Dalam council ini, VC asal Indonesia bisa saling menjajaki untuk berkolaborasi dalam membiayai startup di negara masing-masing yang potensial. Setidaknya ada US$799 juta dana mengalir ke young tech firms di Asean.
“Dalam membangun ekosistem yang fundamental itu di sisi bisnis, seperti bagaimana kami melobi Pemerintah Indonesia agar urusan capital gain bisa dinolkan karena kami berinvestasi yang tidak mudah,” ujar Jeffri R. Sirait. Para VC dari luar negeri ketika masuk ke Indonesia itu akan menyorot soal capital gaintersebut. Mengapa? Jika hal itu tidak terjadi, para investor itu akan membuat ketentuan agar transaksi di setiap startup Indonesia dieksekusi di luar negeri dengan pertimbangan di sana lebih heaven ketimbang di Indonesia. Bandingkan saja dengan Singapura yang memberi nol persen terhadap pajak capital gain. Ekosistem ini yang membuat banyak dana mengalir ke sana termasuk dari Indonesia.
Selain menyorot isu besar seperti membangun green ecosystem yang menjadi sorotan para investor terhadap kondisi startup Indonesia, terkadang para startup mengklaim memiliki ide brilliant dan eksponensial atau dari hasil riset keren, tetapi mereka kerap lupa aspek bisnisnya. Maksudnya, apa yang mereka kerjakan itu ada sense of business-nya. Hal ini yang terkadang missing dari para penggagas startupdi dalam negeri. “Sering kita melihat orang riset bisa menciptakan sesuatu atau greenman yang menciptakan knowledge. Akan tetapi, orang bisnis mengolah knowledge menjadi uang. Intinya, bagaimana anda me-leverage bisnis. Di sinilah terkadang para startup kurang mempersiapkan diri,” ujar Jeffri R. Sirait.
Menurut CEO Tokopedia, William Tanuwijaya, ketika awal merinstis startup market place juga banyak investor yang tidak percaya karena belum ada yang memberi gambaran sukses. Namun ia menggarisbawahi satu hal penting merujuk pengalaman ia membangun Tokopedia, yakni integritas dalam melakukan bisnis sangat memainkan peran penting. Terkait hal itu, para startup juga mesti terus ikut mendorong para investor agar memberi sokongan dan ikut mengembangkan perusahaan rintisan yang didanainya. Peran pre-seed investor akan tetap sangat penting sebagai feeder, baik bersumber dari anglemaupun VC. Membangun roadmap menjadi perusahaan yang bisa menghasilkan keuntungan tetap harus difokuskan agar tidak hanya tergantung degan investor privat terus menerus. “Jadi, dibutuhkan fundamental yang kuat dalam arti basis income dan profitability, dan akan lebih baik lagi mampu untuk masuk ke bursa,” ujar dia.
Ia menuturkan bahwa kelebihan startup di Indonesia selain pangsa pasar yang besar, yakni kultur yang tidak mudah didominasi oleh model bisnis yang telah sukses di luar negeri. Jadi, para startup yang benar-benar mengerti problem, isu, dan potensi yang sangat khas Indonesia lebih memiliki peluang untuk sukses. Contoh nyata Go-Jek dan Traveloka. Selanjutnya, startup ini sudah membuktikan diri mampu bersaing menghadapi gempuran startup dari luar negeri seperti Grab, Uber, Agoda, Booking.com, dan lainnya. Keduanya juga keluar sebagai pemain dominan di bisnis mereka masing-masing karena memahami karakter unik kebutuhan masyarakat Indonesia. Sementara dari sisi sokongan regulasi, pemerintah sudah memperlihatkan keberpihakan kepada para startup asli Indonesia.
Sekarang tinggal terpulang ke diri 44 startup yang sedang di-grooming pemerintah dan Amvesindo untuk menjadi Nexticorn serta startup-startup lainnya untuk naik level lagi. Pada diri startup itu diharapkan memiliki mental entrepreneurship yang kuat agar bisnis berjalan dan paham karakter konsumen di dalam negeri. Semoga 2019, ada lagi Nexticorn.
Original article here by Warta Ekonomi.