Presiden Joko Widodo atau Jokowi pada pertengahan Maret lalu menantang perbankan pelat merah untuk mulai menyalurkan student loan atau kredit pendidikan. Berbeda dengan sektor perbankan yang tak banyak menindaklanjuti tantangan itu, perusahaan teknologi finansial (fintech) merespons soal kredit pendidikan itu.
Minimnya respons dari kalangan perbankan soal kredit pendidikan bagi pelajar itu di antaranya karena peminjam bakal berisiko tinggi karena tidak memiliki rekam jejak pinjaman. Sedangkan sejumlah perusahaan rintisan teknologi pembiayaan pendidikan di dalam negeri berani mengambil peran sebagai institusi yang mengeksekusi tantangan presiden itu. Beberapa di antaranya merupakan Danacita, Danadidik, dan Koinworks.
Danacita dan Koinworks merupakan perusahaan fintech peer-to-peer lending yang berfokus menyalurkan pembiayaan pendidikan. Sementara Danadidik merupakan perusahaan fintech penyalur pembiayaan pendidikan berbasis urun dana atau crowd funding.
Ketiga platform itu menyediakan pinjaman jangka panjang bagi mahasiswa dengan tenor berkisar 4 hingga 6 tahun. Masing-masing perusahaan menerapkan metode pelunasan pinjaman yang beragam, mulai dari pembayaran angsuran rendah dengan bunga 9 persen – 20 persen per tahun sampai bagi hasil gaji ketika sudah bekerja.
Co-Founder sekaligus CEO Danadidik Dipo Satria Ramli menyatakan perbankan memang tak begitu cocok menyalurkan student loan. Peminjam yang belum memiliki sumber penghasilan tetap tentu dilihat perbankan sebagai profil yang sangat beresiko.
“Dengan begitu memang idealnya fintech pembiayaan pendidikan bekerja sama dengan bank. Lebih efisien bagi bank berinvestasi melalui channel fintech, biaya lebih rendah dan manajemen risikonya pun lebih fleksibel,” ujar Dipo di Jakarta, Selasa, 3 April 2018.
Co-Founder sekaligus CEO KoinWorks Benedicto Haryono menyatakan penyaluran kredit pendidikan umumnya dinilai banyak kalangan sebagai bisnis yang rentan terhadap risiko gagal bayar. Hanya saja anggapan itu belum terbukti lantaran peminjam kredit pendidikan justru lebih patuh memenuhi komitmen pelunasan. “Kalau dibilang student loan itu berisiko tinggi, tapi justru sekarang gagal bayarnya sekarang 0 persen,” ujarnya. Kunci sukses tumbuhnya perusahaan fintech pembiayaan pendidikan merupakan kolaborasi dengan bank serta dukungan pemerintah.
Sementara itu Co-Founder DanaCita, Susli Lie, menyatakan pinjaman pinjaman pendidikan memiliki karakteristik yang jauh berbeda dengan kredit konsumsi. Peminjam kredit pendidikan umumnya memiliki keikatan yang lebih baik dengan pemberi pinjaman.
Pemain fintech pembiayaan pendidikan, menurut Susli, memiliki kemampuan evaluasi kredit yang lebih spesifik terhadap mahasiswa ketimbang perbankan. “Dari kondisi itu sebenarnya memungkinkan kolaborasi fintech dengan bank, karena kami memiliki kemampuan untuk mengevaluasi kredit secara lebih spesifik,” ujarnya.
Adapun partner Convergence Ventures Donald Wihardja meyakini perusahaan fintech dalam negeri dapat menjembatani niatan pemerintah menyalurkan kredit pendidikan. Hanya saja, pelaku industri tekfin perlu didorong untuk semakin mudah berkolaborasi dengan perbankan sebagai institusi pemberi pinjaman.
Di samping itu, menurut Donald, perlu berbagai dorongan insentif yang dapat meningkatkan angka penyaluran pembiayaan pendidikan. “Kalau misalnya pemerintah punya KUR untuk usaha mikro, mengapa tidak ada KUR untuk pendidikan, saya yakin impact-nya sangat besar. Di sisi lain, fintech lending sudah tumbuh sangat cepat, perlu dorongan agar fintech lebih mudah berkolaborasi dengan bank,” ujarnya.
Original article here by Tempo.