Written by Donald Wihardja
Setiap pagi, seorang sopir Uber sudah menunggu untuk mengantar saya ke kantor. Setiap Sabtu dan Minggu pagi, seorang sopir GoJek mengantar bubur beserta cakwe untuk sarapan pagi saya dan keluarga. Dan, dapur keluarga kami pun penuh dengan berbagai perkakas unik, dari pengupas nanas hingga pompa botol soda, yang saya dapatkan karena usil berbelanja di Tokopedia pada jam makan siang.
Bagi saya sekarang ini, susah untuk membayangkan hidup tanpa kenyamanan yang tidak ditemui di Jakarta beberapa tahun yang lalu.
Tidak disangka, kemajuan teknologi dan startup di belakangnya, telah menjadi suatu unsur yang menandai masa kini. Mereka dipuji karena memberikan ratusan ribu pekerjaan bagi sopir ojek, tetapi di sisi lain dicaci maki atas menyusutnya 60% armada taksi.
Mereka pun memberikan kesempatan berniaga bagi jutaan pedagang kecil dari Sabang sampai Merauke, dan di sisi lain dituduh sebagai penanggung jawab di belakang kondisi penurunan penjualan ritel di Indonesia.
Akan tetapi, apa yang sebenarnya terjadi dibalik layar semua startup tersebut?
Sesungguhnya, saya punya pekerjaan terbaik di dunia. Sebagai perusahaan Venture Capital (VC) yang mendanai startup tersebut, saya punya kesempatan untuk bertemu dengan banyak visioner yang memilih untuk melihat dunia dengan sudut pandang berbeda, dan melihat potensi di sela-sela kekurangan yang ada.
Dari mata mereka, saya dapat mengintip dunia yang akan datang, dan taktik unik mereka untuk sampai ke sana. Tentunya, semua ini bukan tanpa kesulitan.
Sebenarnya, membuat startup yang berskala besar itu sama dengan membangun bisnis waralaba. Kita membuka satu lokasi untuk percobaan, dan kalau sukses, kita tidak menanti sampai lokasi pertama balik modal, tetapi segera berinvestasi untuk membangun tempat-tempat baru, sebelum kompetitor mengambil pasar.
Dari cashflow, strategi ini memang kelihatannya menghamburkan uang, tetapi kuncinya adalah mengetahui key performance indicator (KPI) dan cara menganalisa yang tepat untuk membedakan usaha yang bagus dan yang tidak.
Tentunya, membangun bisnis seperti ini perlu dana. Kuncinya adalah kesiapan mencari dana dari beberapa ronde investasi, dimulai dari tahap awal, di ronde Seed dan Seri A, di mana ide bisnis tersebut diuji coba; di tahap Growth, di Seri B dan seterusnya, di mana bisnis dituntut untuk memacu pertumbuhannya, dan tahap akhir di mana bisnis yang sudah besar dapat menguasai pasar, dan kami sebagai investor dapat mencairkan investasi dengan menjual saham ke pihak ketiga atau initial public offering (IPO) ke publik.
Dalam beberapa berita akhir-akhir ini, dilaporkan bahwa jumlah startup baru yang menerima funding pada 2017 sudah turun sebesar 23% dibandingkan dengan tahun lalu. Walaupun saya tidak setuju dengan angka penurunan yang terbilang cukup tajam tersebut, tetapi saya juga melihat sedikit penurunan investasi oleh VC pada startup yang baru.
Ada beberapa hal yang bisa dilihat. Pertama, tersedianya lebih banyak angel investor, keluarga, dan teman yang mengisi kekurangan pendanaan dini. Kedua, banyak VC yang sudah berinvestasi dalam beberapa tahun terakhir dan sekarang disibukkan dengan kebutuhan membantu startup-startup mereka melakukan fundraising di ronde berikutnya.
Di sisi lain, walaupun ada sedikit penurunan pada investasi di Ronde Seed dan Ronde Seri A, saya juga melihat kenaikan tajam jumlah startup lulusan berbagai akselerator dan inkubator baru (Mandiri Incubator, Fenox GnB, Plug and Play, IDX Incubator, dan lain lain), yang menggantikan penuruan tersebut. Ditambah lagi dengan diluncurkannya berbagai program dari pemerintah, seperti Bekraf Bantuan Insentif Pemerintah (BIP), yang memberikan dana untuk membantu startup ini membangun traction dan akhirnya dapat memperoleh investasi dengan nilai yang lebih tinggi.
Isu yang lebih besar yang dihadapi startup di Indonesia, dan juga di Asia Tenggara, adalah isu “Missing Middle” atau “Series B Funding Gap”, kekurangan investor untuk pendanaan Seri B, yaitu untuk ronde pendanaan sebesar US$5 juta sampai dengan US$20 juta. VC seperti saya yang terfokus pada pasar ini biasanya berskala kecil. Walaupun kami sanggup mendanai Ronde Seed dan Ronde Seri A, kami tidak diperuntukkan untuk memimpin ronde pendanaan di atas US$3 juta. Skala VC untuk ronde Seri B biasanya adalah VC internasional berskala medium dan besar dari Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang, sementara Investor tradisional dari keluarga konglomerat dan rumah investasi lokal tidaklah terbiasa berinvestasi di perusahaan dengan hypergrowth tetapi dengan arus kas yang negatif.
Isu Missing Middle ini yang menyerap perhatian berbagai VC di Indonesia pada akhir 2016 dan awal 2017, di mana banyak perusahaan startup yang telah kami danai, dan berhasil tumbuh, kemudian mulai membutuhkan pendanaan Seri B. Untungnya, kami mulai melihat VC dari China meningkatkan perhatian mereka ke kawasan ini, dan mengisi kehampaan yang ada. Sekarang kami sudah melihat beberapa startup menengah telah berhasil mendapatkan pendanaan Seri B, seperti SaleStock (US$27 juta), dan Taralite (US$6,3 juta).
Pemerintah juga tengah menggalakkan dukungan mereka untuk membantu mengisi Missing Middle ini.
Minggu ini, delegasi menteri-menteri Indonesia akan berkunjung ke Beijing dan bertemu dengan berbagai pemain e-commerce dan juga menjamu beberapa VC dari China. Tujuannya adalah untuk mengundang mereka untuk berinvestasi di Indonesia, sekaligus menerangkan tentang kebijakan-kebijakan yang telah diluncurkan, termasuk Perpres No. 74/2017 yang ditujukan untuk memperkuat sektor e-commerce. Kunjungan seperti ini pun direncanakan di beberapa negara lain yang mempunyai VC yang besar.
Untuk tahap akhir, Indonesia juga mulai melihat munculnya startup besar yang lulus menjadi unicorn, perusahaan yang memiliki pangsa pasar lebih dari US$1 miliar, atau berhasil diakuisisi dengan harga yang tinggi.
Awal tahun ini Kudo, setelah membangun usaha mereka selama 2 tahun, memberitakan pembelian oleh Grab seharga US$100 juta. Tidak kalah hebatnya juga adalah berita dari ketiga unicorn Indonesia, yakni Traveloka yang telah menerima US$500 juta pendanaan baru yang dipimpin oleh Expedia, Gojek dengan US$1,2 miliar oleh Tencent, dan terakhir Tokopedia dengan US$1,1 miliar dari Alibaba.
Ini semua membuktikan pentingnya Indonesia di mata investor dunia, terutama investor-investor China.
Tentunya ada yang mengkritik apakah perusahaan perusahaan ini, dengan investasi yang sebesar itu dari luar negeri, tetap menjadi perusahaan Indonesia?
William Tanuwidjaja dari Tokopedia menjawab pertanyaan serupa yang di lontarkan Menko Perekonomian Darmin Nasution dalam suatu pertemuan, bahwa dengan suntikan dana sebesar US$1,1 miliar dari Alibaba, Alibaba hanya mendapatkan saham minoritas.
Kepemimpinan Tokopedia tetap berada di bawah kendali William, dan lebih penting lagi bahwa visi Tokopedia adalah tetap menggalang UKM Indonesia. Begitu pula ceritanya untuk Traveloka dan Gojek.
Kesimpulannya, saya dengan senang hati melaporkan bahwa kondisi startup dan investasi startup di Indonesia tetap hidup, tumbuh, dan telah mulai pulih kembali. Ekosistem startup di Indonesia sudah mulai matang, dan beberapa sudah berhasil menempuh seluruh siklus perkembangannya. Tentu mereka menghadapi tantangan yang sesuai, terutama mereka yang berhasil bertumbuh lebih besar dari yang semula hanya sanggup didanai VC lokal. Kini, sudah terlihat bahwa investor global telah mulai merintis jalan ke pintu startup Indonesia, yang dipimpin oleh unicorn-unicorn kita.
Artikel original ini dibuat oleh Donald Wihardja dan telah dipublikasikan oleh Bisnis.com